Blogroll

Membangun Ketahanan dan Energi Psikologis

Wacana tentang bencana kegunungapian terbilang cukup baru di Kabupaten Karo, karena setelah Agustus 2010, inilah kali kedua Kabupaten Karo menghadapi bencana alam gunung meletus. Banyak persoalan yang harus dihadapi pengungsi di posko pengungsian akibat kegamangan Pemerintah Kabupaten dan SKPD yang terkait, apalagi BPBD Karo baru berusia seumur jagung.

Persoalan yang dihadapi oleh para pengungsi tidah hanya berupa persoalan sanitasi, asupan gizi, nutrisi, kesehatan, pendidikan, logistik belaka. Dalam penanganan bencana, hal yang kerap kali luput dari prioritas pemulihan adalah permasalahan psikologis, terutama dampak trauma akibat bencana "post traumatic stress disorder" pada anak-anak. padahal, menurut ahli psiko sosial terapan Soleh Amini Yahman, M.si. PSi kerugian yang paling besar akibat bencana adalah kerugian yang menyangkut aspek psikologis. Bangunan yang rusak, sarana dan prasarana umum yang hancur, lahan pertanian yang porak poranda akibat bencana semuanya itu dapat diperbaiki dan dikembalikan ke kondisi awal tepat seperti ketika bencana belum terjadi, tetapi mental dan kesehatan psikis anak tidak akan bisa dikembalikan ke kondisi awal jika tidak segera ditangani. Tanpa kondisi mental yang baik, maka semua usaha perbaikan dan pemulihan pasca bencana akan menjadi sia-sia, ujarnya.

Persoalan akibat pengalaman traumatis yang ditimbulkan oleh bencana pada anak bersifat laten, tidak terlihat, tidak ada gejala dan tanda-tanda namun dapat meledak sewaktu-waktu ketika benccana itu sendiri sudah sangat lama berlalu. Efek trauma pada anak akan terus terbawa selama masa pertumbuhan dan perkembangannya dan sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter, sifat, perilaku dan kecenderungan-kecenderungannya yang nantinya bisa menghambat kreatifitas dan produktivitasnya ketika ia dewasa. Oleh karena itu sangat dibutuhkan kesegeraan dalam menghambat proses internalisasi pengalaman buruk akibat bencana dalam alam bawah sadarnya.

Metode yang dilakukan oleh lembaga Relawan SAVE OUR SINABUNG dalam penanganan trauma pada anak akibat benana adalah Metode experience blocking, memutus arah arus trauma dengan mengalihkan atau mensubstitusikan fokus perhatian mereka. Kita tidak memberi peluang kepada anak-anak korban bencana untuk mengembangkan pengalaman-pengalaman traumatisnya dalam imajinasi mereka yang mengerikan. Kita membawa mereka ke dalam kelompok bermain yang bersifat rekreatif dan menggembirakan, kita berikan mereka kebebasan untuk menuangkan perasaannya secara positif, misalnya lewat puisi, lukisan atau mewarnai juga menyanyi. Dalam setiap Kegiatan yang dilaksanakan, Save Our Sinabung tidak pernah menempatkan anak-anak hanya sebagai objek yang menjadi sasaran kegiatan saja, tetapi secara bergantian kita tempatkan mereka sebagai subjek pelaku bersama-sama dengan para relawan. Intinya, anak-anak di posko pengungsian dibawa ke dalam kegiatan yang terstruktur yang mengarah kepada stimulus internal yang mewujudkan sinergi internal dalam diri anak. Dengan demikian, anak-anak tersebut akan kembali memiliki energi psikologis yang akan menumbuhkan kepercayaan diri dan keberanian untuk menghadapi kehidupan baru seusai bencana. Energi psikologis ini juga akan sangat berperan dalam menumbuhkan kesadaran bahwa selain dirinya sendiri, banyak orang lain yang juga menderita akibat bencana. Mereka akan merasa senasib dan sepenanggungan.

Secara psikologis, rasa senasib sepenanggungan itu akan menjadi kekuatan yang luar biasa dalam pembentukan mekanisme penyembuhan diri sendiri atau self healing.

para Relawan yang bekerja untuk menangani masalah psikologis pada anak tidak bekerja untuk hari ini, tetapi untuk masa depan karena apa yang mereka kerjakan tidak akan terlihat hasilnya dalam jangka waktu yang pendek, tetapi kelak mereka akan melahirkan para pemenang di masa depan, mereka akan melahirkan orang-orang yang menang melawan traumanya sendiri. Sebab, lebih penting menyelamatkan manusia dan masa depannya daripada menyelamatkan harta bendanya. Salam Bangkit!!


yang pertama


Kegiatan pertama Save Our Sinabung turun ke posko pengungsian untuk menjalankan misi kemanusiaan pada tanggal 9 Februari 2014. Saat itu kita belum memiliki identitas, belum memiliki seragam, belum memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Mengapa yang pertama ini terasa begitu istimewa? karena tidak akan pernah ada yang kedua atau yang ketiga tanpa yang pertama. Secara kebetulan, atau mungkin yang di atas telah merencanakan demikian, Save Our Sinabung memilih posko pengungsian Desa Siabang-abang, asal pengungsi dari Desa Tanjung Merawa sebagai posko pertama yang kita datangi. di posko ini ada duaratusan anak yang harus kita tangani di dalam tenda peleton yang terasa sesak, panas dan riuh oleh celoteh anak-anak pengungsi. pada awalnya rekan-rekan yang baru bergabung dan belum mendapatkan pelatihan dan bimbingan singkat bagaimana harus menangangi trauma anak akibat bencana merasa kikuk dan kaget, bahkan ada yang sampai blank, tidak tau harus berbuat apa, padahal dari sekretariat kita sudah mengadakan brieffing sebelum berangkat ke posko. kegitan pertama di posko pengungsian siabang-abang ini seakan menjadi batu uji untuk Save Our Sinabung karena kita mendapat tugas yang berat (dari semua kegiatan yang kita lakukan di posko pengungsian inilah yang terberat) harus menghadapi duaratusan anak dari berbagai kelompok umur.Lulus dari ujuan ini, kegiatan di posko-posko pengungsian yang lain terasa lebih mudah dan ringan.

Seiring dengan berjalannya waktu, tantangan lain yang lebih serius mulai terasa, kami menganggapnya inilah ujian kedua bagi lembaga relawan Save Our Sinabung. pada tahap awal erupsi gunung Sinabung, bantuan mengalir dengan gencar, bahkan sampai berlebih ditambah lagi dengan banyaknya kepentingan politik para caleg yang berebut untuk mencari muka di posko-posko pengungsian. Blow up pemberitaan di media massa, terutama televisi juga begitu gencar menghajar indra pendengaran dan penglihatan kita. Tetapi begitu aktivitas Sinabung menurun dan tidak seintens September hingga Januari, bantuan terus berkurang dan tersendat yang menyebabkan para pengungsi merasa terabaikan. Berhentinya pemberitaan tentang Sinabung membuat orang-orang berpikir bahwa masalah di Sinabung telah usai, padahal seiring dengan menurunnya aktivitas Sinabung, masalah para pengungsi kian kompleks. masalah soal berkurangnya antusiasme para donatur untuk mengulurkan bantuan hanyalah salah satu dari sekian banyak permasalahan di sekitar sinabung. Para pengungsi yang telah kembali ke desa-desanya berhadapan dengan kenyataan harus tinggal di bawah atap yang bolong, bahkan ada yang sudah tidak beratap sama sekali, masalah kesehatan mental anak-anak pengungsi juga tidak pernah diperhatikan. di sektor pertanian, masyarakat di lereng Sinabung sangat berharap untuk membangun green house di lahan pertanian yang mereka kelola secara berkelompok, dan banyak lagi permasalahan lainnya.

sekaranglah saatnya jika ingin mengulurkan tangan untuk membantu mereka. Jangan menunda jika ada niat untuk itu, karena dengan membantu sesama yang sedang membutuhkan bantuan, kita juga sedang membantu diri kita sendiri.


Atasi Trauma Anak Pascabencana


Berbeda dengan orang dewasa, anak-anak lebih sensitif dan rentan terhadap trauma akibat bencana. Hal itu bisa mempengaruhi mental mereka hingga dewasa.

Kejadian mengerikan saat bencana terjadi sangat terekam dalam ingatan anak. Terlebih jika ada keluarga yang meninggal. Bila terjadi penolakan atas kejadian itu di alam bawah sadarnya, seumur hidup ia tak akan melupakan hal itu.

Ketakutan berlebihan atau paranoid terhadap gunung misalnya, akan mengganggu aktivitasnya. Efek trauma kejiwaan yang ditimbulkan bencana bahkan jauh lebih besar dan berat untuk dipulihkan daripada kerusakan fisik.
Dalam buku Agar Badai Cepat Berlalu karangan Georgia Witkin, dijelaskan berbagai metode untuk mengatasi trauma setelah musibah baik musibah besar atau kecil.

Witkin yang merupakan Direktur The Stress Program , Mt. Sinai School of Medicine New York, Amerika Serikat, mengungkapkan hari pertama setelah bencana merupakan hari yang paling membingungkan.
Penelitian yang diungkap Witkin dalam bukunya menunjukkan bahwa hampir 90% korban masih terus dilanda stress dan ketakutan bencana akan datang lagi.
Kehilangan keluarga tercinta juga bisa menimbulkan perasaan beruntung bisa tetap hidup, tapi juga ada rasa bersalah karena ada orang yang disayanginya meninggal.


Bagaimana cara mengatasi rasa trauma anak-anak dan membuat mereka bisa menerima kematian orang tercinta?
- Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah memahami apa yang dirasakan anak-anak setelah bencana. Pandangan  anak-anak terhadap bencana bisa jauh berbeda dengan anggapan orang dewasa. Gali perasaan mereka yang terdalam dengan metode bercerita atau menggambar. Dari gambar yang dihasilkan, bisa diketahui seberapa dalam dampak bencana terhadap kondisi psikologisnya.

- Kenali gejala-gejala stres pada anak-anak. Masing-masing anak memiliki kemampuan berbeda menerima kondisi bencana, sehingga tingkat dan gejala stress yang ditunjukkan pun berbeda. Ada yang menjadi pendiam, ada yang menjadi pemarah, dan sebagainya.

- Menurut Witkin, membuat anak bisa mengurutkan tahap kejadian bencana merupaka salah satu metode yang tepat untuk membantu proses pemulihan psikisnya.

- Lakukan terapi berkelompok dengan anak-anak lain yang juga menjadi korban. Dengan berkumpul bersama anak lain yang senasib, ia tak akan merasa sendirian.

- Orang dewasa tak perlu menutup-nutupi soal kematian terhadap anak. Misalnya anak belum terlalu mengerti, jelaskan dengan bahasa mereka tentang konsep dasar kematian. Berbohong dengan mengatakan orang yang meninggal hanya pergi dan nanti kembali, cuma akan membuat anak berharap terlalu besar, dan nantinya kehilangan kepercayaan terhadap orang dewasa.

- Anak-anak cenderung meniru perilaku orang dewasa di sekitarnya. Jangan tunjukkan rasa sedih terlalu berlebihan di depan anak. Hal itu akan membantu mereka mengatasi trauma dengan lebih tenang.

*sumber .viva.co.id*

Sinabung Got Talent, sebuah acara pagelaran seni yang diselenggarakan oleh lembaga Save Our Sinabung sebagai media untuk berekspresi bagi anak-anak pengungsi erupsi Sinabung. kegiatan ini diselenggarakan sebagai kelanjutan dari program kerja kita selama di posko pengungsian memberikan trauma healing dan materi tentang kesiapan menghadapi bencana yang kita kemas melalui perlombaan (competition for disarter eduation). kegiatan ini adalah puncak dari kegiatan kita selama tiga bulan ini di posko-posko pengungsian. Melalui kegiatan ini juga kita mengevaluasi tingkat keberhasilan metode trauma healing yang kita terapkan untuk anak-anak tersebut, dan sebagai kesimpulannya, anak-anak ini berhasil mengatasi trauma mereka. keluar sebagai juara pertama dalam kegiatan ini adalah anak-anak pengungsi dari posko GBKP Kota Kabanjahe, Juara kedua dari posko KWK Berastagi, dan juara ketiga dari posko GPDI Ndokum Siroga simpang empat. Untuk kegiatan selanjutnya, kita akan mulai dari tahap awal lagi ke posko-posko pengungsian yang belum sempat kita kunjungi di program kerja triwulanan tahap pertama.
 
Akhir-akhir ini aneka bencana alam kembali menaungi negeri ini. Empat anasir alam telah menunjukkan keperkasaannya. Mulai dari banjir (air), kebakaran hutan dan gunung meletus (api), topan dan puting beliung (angin), hingga tanah longsor dan gempa bumi (tanah). Rentetan bencana alam tersebut tentu berdampak pada kehidupan manusia. Termasuk dalam ranah psikologis.

Menurut Albert Maramis, pakar kesehatan dari WHO, pada setiap kejadian bencana alam, rata-rata penduduk yang mengalami masalah kejiwaan mencapai 50%. Oleh sebab itu, selain membutuhkan pasokan logistik, para korban bencana alam juga memerlukan terapi pemulihan stres dan trauma. Terlebih bagi anak-anak. Kenapa? Karena mereka sempat terkurung di barak-barak pengungsian dan tak bisa kemana-mana (termasuk bersekolah) selama bencana alam menerjang.

Maya Safira, terapis kesehatan holistik L’Ayurveda menjelaskan bahwa gangguan stres pascatrauma disebut Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Pengalaman menakutkan itu berulang secara terus-menerus (re-experience). Bentuknya berupa khayalan, mimpi, halusinasi, dan flash back. Seolah peristiwa tersebut sungguh terulang kembali di benaknya. Alhasil, korban akan bereaksi panik. Lama-kelamaan tekanan batin/depresi tersebut dapat memengaruhi kehidupan sehari-hari seseorang, termasuk anak-anak.
Dari aspek psikologis, anak-anak memang rentan gangguan psikis. Memori-memori traumatis saat bencana datang niscaya mengendap di alam bawah sadar mereka. Gejalanya berupa rasa murung, susah tidur (insomnia), dan nafsu makan berkurang. Bila tak segera mendapatkan terapi, dampaknya bisa terbawa hingga generasi penerus bangsa itu beranjak dewasa.

Dalam konteks ini, rekomendasi Seto Mulyadi menjadi kian relevan. Ada beragam teknik permainan untuk mengatasi trauma anak. Antara lain bermain pasif, bermain aktif motorik halus, dan bermain aktif motorik kasar.

Bermain pasif misalnya seperti menyaksikan pertunjukan sulap dan mendengarkan dongeng. Bermain aktif motorik contohnya menulis, menggambar, mewarnai, menari, berpuisi, menyanyi, bermain teater, dll. Bermain motorik kasar dengan berteriak ekspresif. Tujuannya agar dapat mengeluarkan perasaan sedih di alam bawah sadar mereka. Begitulah pendapat Ketua Dewan Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) Republik Indonesia (RI) tersebut.

Lebih lanjut, menurut Kak Seto, pendampingan langsung ke anak memang penting. Tapi bimbingan konseling untuk atasi trauma para orangtua mereka juga sangat urgen. Kenapa? Karena orangtua yang depresi niscaya menularkan stresnya kepada anak-anak mereka juga.