Akhir-akhir ini aneka bencana alam
kembali menaungi negeri ini. Empat anasir alam telah menunjukkan
keperkasaannya. Mulai dari banjir (air), kebakaran hutan dan gunung
meletus (api), topan dan puting beliung (angin), hingga tanah longsor
dan gempa bumi (tanah). Rentetan bencana alam tersebut tentu berdampak
pada kehidupan manusia. Termasuk dalam ranah psikologis.
Menurut Albert Maramis, pakar
kesehatan dari WHO, pada setiap kejadian bencana alam, rata-rata
penduduk yang mengalami masalah kejiwaan mencapai 50%. Oleh sebab itu,
selain membutuhkan pasokan logistik, para korban bencana alam juga
memerlukan terapi pemulihan stres dan trauma. Terlebih bagi anak-anak.
Kenapa? Karena mereka sempat terkurung di barak-barak pengungsian dan
tak bisa kemana-mana (termasuk bersekolah) selama bencana alam
menerjang.
Maya Safira, terapis kesehatan holistik L’Ayurveda menjelaskan bahwa gangguan stres pascatrauma disebut Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Pengalaman menakutkan itu berulang secara terus-menerus (re-experience). Bentuknya berupa khayalan, mimpi, halusinasi, dan flash back.
Seolah peristiwa tersebut sungguh terulang kembali di benaknya.
Alhasil, korban akan bereaksi panik. Lama-kelamaan tekanan batin/depresi
tersebut dapat memengaruhi kehidupan sehari-hari seseorang, termasuk
anak-anak.
Dari aspek psikologis, anak-anak
memang rentan gangguan psikis. Memori-memori traumatis saat bencana
datang niscaya mengendap di alam bawah sadar mereka. Gejalanya berupa
rasa murung, susah tidur (insomnia), dan nafsu makan berkurang. Bila
tak segera mendapatkan terapi, dampaknya bisa terbawa hingga generasi
penerus bangsa itu beranjak dewasa.
Dalam konteks ini, rekomendasi Seto
Mulyadi menjadi kian relevan. Ada beragam teknik permainan untuk
mengatasi trauma anak. Antara lain bermain pasif, bermain aktif
motorik halus, dan bermain aktif motorik kasar.
Bermain pasif misalnya seperti
menyaksikan pertunjukan sulap dan mendengarkan dongeng. Bermain aktif
motorik contohnya menulis, menggambar, mewarnai, menari, berpuisi,
menyanyi, bermain teater, dll. Bermain motorik kasar dengan berteriak
ekspresif. Tujuannya agar dapat mengeluarkan perasaan sedih di alam
bawah sadar mereka. Begitulah pendapat Ketua Dewan Pembina Komisi
Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) Republik Indonesia (RI)
tersebut.
Lebih lanjut, menurut Kak Seto,
pendampingan langsung ke anak memang penting. Tapi bimbingan konseling
untuk atasi trauma para orangtua mereka juga sangat urgen. Kenapa?
Karena orangtua yang depresi niscaya menularkan stresnya kepada
anak-anak mereka juga.
0 komentar:
Posting Komentar